POLISI DAN PENGURUSAN SUMBER DAYA ALAM


Reformasi Kepolisan yang dicanangkan oleh Polri sejak tahun 2002, yang dikukuhkan dalam UU No.2 Tahun 2002 memiliki sejumlah agenda strategis yang pada intinya berkehendak mendemokratisasikan institusi kepolisian. Menajamkan agenda demokratisasi itu, Polri kemudian menyusun agenda reformasi internal, antara lain untuk meredefinisi jati diri Polri melalui demiliterisasi, depolitisasi, desakralisasi, desentralisasi, defeodalisasi, dekorporatisasi, dan debirokratisasi; membangun kepercayaan masyarakat, dan lain-lain.
Dalam bidang penegakan hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam (PSDA) peran-peran Polri menjadi sesuatu yang sentral untuk disoal. Terdapat 5 (lima) sektor penting dimana Polri acapkali terlibat konflik dan sengketa dengan warga. Kelima sektor itu adalah kehutanan, perkebunan skala besar, pertambangan, kelautan serta infrastruktur. Pada kelima sektor itu Polri mencatatkan diri sebagai institusi yang paling sering vis a vis dengan rakyat miskin (petani, masyarakat adat, nelayan maupun kaum miskin perkotaan).
Dalam catatan WALHI, sejak tahun 2003 sampai semester pertama tahun 2010, jumlah konflik sumber daya alam terjadi sebanyak 317 kasus. Ini yang sifatnya manifest. Keseluruhan kasus ini memiliki dimensi kekerasan struktural dan pelanggaran hak asassi manusia. Polri adalah institusi dominan sebagai pelaku kekerasan dan pelanggaran HAM.
Secara spesifik, hingga semester pertama tahun 2010, kami mencatat 84 orang sudah menjadi korban kriminalisasi dan kekerasan aparat polisi. Penembakan sewenang-wenang pada petani di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau pada tanggal 8 Juni 2010, hingga mengakibatkan meninggalnya seorang perempuan petani, Ibu Yusniar (45), adalah peristiwa yang paling parah. Selain itu, terdapat 83 orang petani ditahan, yaitu enam (6) di Riau, enam (6) di Sumatera Barat, 3 (tiga) di Bengkulu, lima (5) di Tapanuli Selatan-Sumatera Utara, dua (2) orang di Kabupaten Ogan Komering Ilir-Sumatera Selatan, 24 orang di Banggai, Sulawesi Tengah, 19 orang di Buton, Sulawesi Tenggara, dan 18 orang di Kalimantan Barat. Ini hanya catatan dari 8 (delapan) propinsi yang terekam. Di lapangan, angkanya bisa jadi lebih besar.
Tindakan kriminalisasi kepada aktivis pendamping serta rakyat miskin, baik dalam bentuk penangkapan, penahanan, penganiayaan, penyiksaan, penembakan, bahkan pembunuhan sewenang-wenang, adalah modus yang terus dilakukan Polri. Legitimasinya lebih sering untuk mengamankan kepentingan pemodal skala besar, khususnya dalam lima sektor yang sudah disebutkan di atas. Menguatnya gurita kapitalisme yang merampok sumber daya alam kita, menghisap tenaga buruh, menyebabkan bencana ekologis, dan masifnya praktek pelanggaran HAM, adalah buah dari gagalnya penerapan sistem perlindungan keselamatan warga dan alam, yang salah satunya ada dipundak Polri, sebagai alat keamanan dan penegak hukum. Tentu saja pemerintah tak bisa lepas tangan dari sengkarutnya kondisi ketidakadilan sosial-ekologis ini.
Perjuangan rakyat miskin, bersama aktivis pendamping, untuk melindungi lingkungan hidup dan sumber daya alam, sebagaimana amanat konstitusi khususnya Pasal 33, dihadapkan dengan ironi masih kuatnya keberpihakan Polri melindungi rezim modal dan birokrasi korup. Laporan-laporan dari kantor WALHI di wilayah, mencatatkan bahwa, kesungguhan Polri untuk melakukan reformasi interal, meningkatkan kualitas pelayanan hukum, dan memihak pada rakyat korban, masih jauh dari praktek keseharian.
Selain kasus-kasus kekerasan, potret penting lain yang perlu dicatat, adalah keenganan Polri untuk secara serius mendukung upaya-upaya penegakan hukum lingkungan. Keluarnya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam kasus 13 perusahaan terindikasi melakukan praktek illegal logging di Riau (2008); SP3 Kasus Lumpur Lapindo di Sidoarjo Jawa Timur (2009); hingga tak jelasnya sejumlah kasus lingkungan hidup yang ditangani oleh Polri, adalah potret buram, sekaligus fakta bahwa perspektif penegakan hukum lingkungan, masih jauh dipunyai aparat Polri. Ini ancaman serius bagi masa depan  korban pencari keadilan dan lingkungan hidup.
Kami mencatat bahwa, jika laporan pengaduan disampaikan oleh masyarakat biasa yang notabene miskin, aparat Polri lamban untuk lakukan pengusutan. Namun, jika pengaduan itu dilakukan oleh pihak perusahaan atau pemerintah, dengan sigap aparat Polri bertindak cepat.
Untuk menyebut contoh kasus lingkungan, yang ada dapat diwakili dalam kasus tambang di Batugosok dan Tebedo (Kawasan Taman Nasional Komodo), Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur; pengaduan petani di Banggai kepada PT Kurnia Luwuk Sejati (PT KLS); pengaduan kasus jebolnya Situ Gintung di Tangerang Selatan; pengaduan masyarakat adat Sambawa di Konawe, Sulawesi Tenggara atas perampasan lahan warga oleh perusahaan kelapa sawit PT Sultra Prima Lestari (SPL); pengaduan kasus illegal logging di sejumlah wilayah di Riau dan Sumatera Utara yang dilakukan oleh PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), serta sejumlah kasus kehutanan, perkebunan dan pertambang lain, yang telah diadukan masyarakat dan aktivis lingkungan disejumlah daerah, namun penanganan kasusnya jalan di tempat.
Teranyar, pemberitaan di Majalah Mingguan TEMPO yang terbit Senin, 28 Juni 2010, dengan judul “Rekening Gendut Perwira Polisi”, yang isinya memuat daftar kekayaan sejumlah jenderal polisi, telak membongkar rahasia umum, yang menyiratkan bahwa selama ini, masih banyak anggota Polri, khususnya di level perwira tinggi, yang belum tersentuh agenda reformasi kepolisian. Khususnya, dalam rangka menaikan kepercayaan publik atas independensi dan akutablitas institusi ini. Terlebih lagi sejak Jenderal Susno Duadji meniupkan informasi maraknya makelar kasus (markus) di tubuh Polri. Audit kelembagaan atas Polri menjadi agenda strategis yang kami rekomendasikan.
Akhirnya, kutipan kata dari Fery Adu, seorang pejuang pembela lingkungan di Flores pada bagian awal tulisan ini, semestinya menjadi oto kritik bagi Polri untuk lebih serius mengurus dan menegakan hukum lingkungan. Menegakan konstitusi melindungi sumber daya alam Indonesia. Pemihakan berlebihan aparat Polri, serta penggunaan kekerasan dalam menghadapi sengketa warga versus pemodal yang didukung pemerintah, hanya akan membuat masyarakat antipasti dengan hadirnya Polri. Menjadi bagian integral dari upaya penyelesaian yang adil bagi rakyat korban dan lingkungan hidup, semestinya menjadi visi Polri. Bukan sebaliknya: menjadi bagian dari konflik itu sendiri.

Selamat Hari Bhayangkara ke-64 Polri!

SUMBER :Erwin Usman

Pos ini dipublikasikan di KLIPING DAERAHKU, OTONOMI DAERAH dan tag , , , , , , , , . Tandai permalink.

Silahkan....